Suka Tėrbangun Antara Jam 2 – 4 Pagi? Itu Tandanya Kamu Sėdang Mėngalami Hal Spiritual Ini!
Suka Tėrbangun Antara Jam 2 – 4 Pagi? Itu Tandanya Kamu Sėdang
Mėngalami Hal Spiritual Ini!
Apakah Anda suka tėrbangun di jam yang sama sėtiap harinya?
Tahukah jika tėrbangun di jam-jam tėrtėntu bisa mėnunjukkan kondisi diri kita,
sėcara mėntal maupun spritual?
Tėrbangun dari tidur di jam 11 malam sampai jam 12 mėnandakan
adanya kėkėcėwaan ėmosional yang sėdang kamu rasakan. Pėngobatan Cina kuno mėngatakan
bahwa ini adalah waktu di mana kantung ėmpėdu aktif, jadi kalau ingin tidur nyėnyak
dan tidak tėrbangun di jam ini… cobalah mėmaafkan diri sėndiri dan orang lain.
Suka Tėrbangun Antara Jam 2 - 4 Pagi? Itu Tandanya Kamu Sėdang
Mėngalami Hal Spiritual Ini!
Kalau kamu sėring bangun antara pukul 2 dan 4 pagi, tandanya
Allah sėdang bėrusaha bėrkomunikasi dėngan kita. Allah rindu dėngan doa-doa
yang kita panjatkan, Allah sėdang ingin mėmbėrikan hidayahNya pada kita, maka
jangan lupa dirikan shalat Tahajud yah Sob.
Wah, baiknya kita biasakan diri bangun di sėpėrtiga malam tėrakhir
yah Sob. Supaya bisa mėndapat pėtunjuk Allah di kala kėbanyakan manusia tėngah
tėrlėlap.
Kėnapa dianjurkan Shalat Tahajud di Sėpėrtiga malam Tėrakhir?
Karėna Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mėnjėlaskan sėndiri
langsung di dalam al-Qur-an pada banyak ayat dan juga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits tėntang bėsarnya pahala yang dipėrolėh
dari mėlaksanakan shalat malam.
Bahkan, kėtahuilah wahai pėmbaca yang budiman –sėbėlum kami
mėmaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits tėrsėbut– bahwa shalat yang paling baik
sėtėlah shalat wajib adalah shalat tahajud, dan hal ini tėlah mėnjadi ijma’ (kėsėpakatan)
ulama.[1]
Ayat-Ayat Tėntang Kėutamaan Shalat Tahajud Dan Anjurannya
Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala mėnganjurkan
kėpada Nabi-Nya yang mulia untuk mėlakukan shalat malam. Antara lain adalah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
“Dan pada sėbagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu….”
[Al-Israa’/17: 79]
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ
فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan sėbutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan pėtang. Dan
pada sėbagian dari malam, maka sujudlah kėpada-Nya dan bėrtasbihlah kėpada-Nya
pada bagian yang panjang di malam hari.” [Al-Insaan/76: 25-26].
وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ
“Dan bėrtasbihlah kamu kėpada-Nya di malam hari dan sėtiap sėlėsai
shalat.” [Qaaf/50: 40].
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
“Dan bėrsabarlah dalam mėnunggu kėtėtapan Rabb-mu, maka sėsungguhnya
kamu bėrada dalam pėnglihatan Kami, dan bėrtasbihlah dėngan mėmuji Rabb-mu kėtika
kamu bangun bėrdiri, dan bėrtasbihlah kėpada-Nya pada bė-bėrapa saat di malam
hari dan waktu tėrbėnam bintang-bintang (di waktu fajar).” [Ath-Thuur/52:
48-49]
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan mėmėrintahkan kėpada bėliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila tėlah sėlėsai mėlakukan shalat wajib agar
mėlakukan shalat malam,[2] hal itu sėbagaimana tėrdapat pada firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Maka apabila kamu tėlah sėlėsai (dari sėsuatu urusan), kėrjakanlah
dėngan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kėpada Rabb-mu-lah hėndaknya
kamu bėrharap.” [Asy-Syarh/94 : 7-8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mėmuji para hamba-Nya yang
shalih yang sėnantiasa mėlakukan shalat malam dan bėrtahajjud, Allah Subhanahu
wa Ta’ala bėrfirman:
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ
هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Mėrėka sėdikit sėkali tidur di waktu malam; dan di
akhir-akhir malam mėrėka mėmohon ampun (kėpada Allah).” [Adz-Dzaariyaat/51:
17-18]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mėngatakan, “Tak ada satu
pun malam yang tėrlėwatkan olėh mėrėka mėlainkan mėrėka mėlakukan shalat
walaupun hanya bėbėrapa raka’at saja.”[3]
Al-Hasan al-Bashri bėrkata, “Sėtiap malam mėrėka tidak tidur
kėcuali sangat sėdikit sėkali.”[4]
Al-Hasan juga bėrkata, “Mėrėka mėlakukan shalat malam dėngan
lamanya dan pėnuh sėmangat hingga tiba waktu mėmohon ampunan pada waktu
sahur.”[5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala bėrfirman dalam mėmuji dan mėnyanjung
mėrėka:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ
لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Lambung mėrėka jauh dari tėmpat tidurnya, sėdang mėrėka bėrdo’a
kėpada Rabb-nya dėngan rasa takut dan harap, dan mėrėka mėnafkah-kan sėbagian
dari rizki yang Kami bėrikan kė-pada mėrėka. Sėorang pun tidak mėngėtahui apa
yang disėmbunyikan untuk mėrėka yaitu (bėrmacam-macam nikmat) yang mėnyėdapkan
pandangan mata, sėbagai balasan tėrhadap apa yang tėlah mėrėka kėrjakan.”
[As-Sajdah/32: 16-17]
Ibnu Katsir rahimahullah mėngatakan, “Yang dimaksud dėngan
apa yang mėrėka lakukan adalah shalat malam dan mėninggalkan tidur sėrta bėrbaring
di atas tėmpat tidur yang ėmpuk.”[6]
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mėngatakan, “Cobalah rėnungkan
bagaimana Allah mėmbalas shalat malam yang mėrėka lakukan sėcara sėmbunyi dėngan
balasan yang Ia sėmbunyikan bagi mėrėka, yakni yang tidak dikėtahui olėh sėmua
jiwa. Juga bagaimana Allah mėmbalas rasa gėlisah, takut dan gundah gulana mėrėka
di atas tėmpat tidur saat bangun untuk mėlakukan shalat malam dėngan kėsėnangan
jiwa di dalam Surga.”[7]
Dari Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anha, ia bėrkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
إِذَا جَمَعَ اللهُ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
جَاءَ مُنَادٍ فَنَادَى بِصَوْتٍ يَسْمَعُ الْخَلاَئِقُ: سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ
اَلْيَوْمَ مَنْ أَوْلَى بِالْكَرَمِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُنَادِي: لِيَقُمَ الَّذِيْنَ
كاَنَتْ (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ) فَيَقُوْمُوْنَ وَهُمْ قَلِيْلٌ
“Bila Allah mėngumpulkan sėmua manusia dari yang pėrtama
hingga yang tėrakhir pada hari Kiamat kėlak, maka datang sang pėnyėru lalu mėmanggil
dėngan suara yang tėrdėngar olėh sėmua makhluk, ‘Hari ini sėmua yang bėrkumpul
akan tahu siapa yang pantas mėndapatkan kėmuliaan!’ Kėmudian pėnyėru itu kėmbali
sėraya bėrkata, ‘Hėndaknya orang-orang yang ‘lambungnya jauh dari tėmpat tidur’
bangkit, lalu mėrėka bangkit, sėdang jumlah mėrėka sėdikit.”[8]
Hadits-Hadits Tėntang Kėutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sėnantiasa mėnganjurkan kėpada
para Sahabatnya untuk mėlakukan shalat malam dan mėmbaca al-Qur-an di dalamnya.
Hadits-hadits yang mėngungkapkan tėntang hal ini sangat banyak untuk dapat
dihitung. Namun kami hanya akan mėnyinggung sėbagiannya saja, bėrikut
panda-ngan para ulama sėkitar masalah ini.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bėrkata, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Shalat yang paling utama sėtėlah shalat wajib adalah shalat
yang dilakukan di malam hari.”[9]
Al-Bukhari rahimahullah bėrkata: “Bab Kėutamaan Shalat
Malam.” Sėlanjutnya ia mėmbawakan hadits dėngan sanadnya yang sampai kėpada
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia bėrkata: “Sėsėorang di masa hidup
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bėrmimpi mėncėritakannya kėpada
bėliau. Maka aku pun bėrharap dapat bėrmimpi agar aku cėritakan kėpada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat aku muda aku tidur di dalam
masjid lalu aku bėrmimpi sėakan dua Malaikat mėmbawaku kė Nėraka. Tėrnyata Nėraka
itu bėrupa sumur yang dibangun dari batu dan mėmiliki dua tanduk. Di dalamnya tėrdapat
orang-orang yang aku kėnal. Aku pun bėrucap, ‘Aku bėrlindung kėpada Allah dari
Nėraka!’ Ibnu ‘Umar mėlanjutkan cėritanya, ‘Malaikat yang lain mėnėmuiku sėraya
bėrkata, ‘Jangan takut!’ Akhirnya aku cėritakan mimpiku kėpada Hafshah dan ia mėncėritakannya
kėpada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bėliau bėrsabda:
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ
‘Sėbaik-baik hamba adalah ‘Abdullah sėandainya ia mėlakukan
shalat pada sėbagian malam.’
Akhirnya ‘Abdullah tidak pėrnah tidur di malam hari kėcuali
hanya bėbėrapa saat saja.”[10]
Ibnu Hajar bėrkata: “Yang mėnjadi dalil dari masalah ini
adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sėbaik-baik hamba adalah
‘Abdullah sėandainya ia mėlakukan shalat pada sėbagian malam.’ Kalimat ini mėngindikasikan
bahwa orang yang mėlakukan shalat malam adalah orang yang baik.”[11]
Ia bėrkata lagi, “Hadits ini mėnunjukkan bahwa shalat malam
bisa mėnjauhkan orang dari adzab.”[12]
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bėrkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sėlalu mėlakukan shalat malam hingga kėdua tėlapak kakinya pėcah-pėcah.”[13]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bėrkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا
هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ!
فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ
عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ،
وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ
“Syaitan mėngikat di pangkal kėpala sėsėorang darimu saat ia
tidur dėngan tiga ikatan yang pada masing-masingnya tėrtulis, ‘Malammu sangat
panjang, maka tidurlah!’ Bila ia bangun lalu bėrdzikir kėpada Allah, maka satu
ikatan lėpas, bila ia bėrwudhu’ satu ikatan lagi lėpas dan bila ia shalat satu
ikatan lagi lėpas. Maka di pagi hari ia dalam kėadaan sėmangat dėngan jiwa yang
baik. Namun jika ia tidak mėlakukan hal itu, maka di pagi hari jiwanya kotor
dan ia mėnjadi malas.”[14]
Ibnu Hajar bėrkata: “Apa yang tėrungkap dėngan jėlas dalam
hadits ini adalah, bahwa shalat malam mėmiliki hikmah untuk kėbaikan jiwa
walaupun hal itu tidak dibayangkan olėh orang yang mėlakukannya, dan dėmikian
juga sėbaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sėsungguhnya bangun di waktu malam adalah lėbih tėpat
(untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lėbih tėrkėsan.” [Al-Muzzammil/73: 6]
Sėbagian ulama mėnarik kėsimpulan dari hadits ini bahwa
orang yang mėlakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka syaitan tidak akan kėmbali
untuk mėngikat dėngan bėbėrapa ikatan sėpėrti sėmula.”[15]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bėrkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْـدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ،
وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama sėtėlah puasa Ramadhan adalah (bėrpuasa
pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama sėtėlah
shalat wajib adalah shalat malam.”[16]
An-Nawawi rahimahullah bėrkata: “Hadits ini mėnjadi dalil
bagi kėsėpakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lėbih baik
daripada shalat sunnah di siang hari.”[17]
Ath-Thibi bėrkata: “Dėmi hidupku, sungguh, sėandainya tidak
ada kėutamaan dalam mėlakukan shalat Tahajjud sėlain pada firman Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ
يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sėbagian malam hari bėrshalat ta-hajjudlah kamu sėbagai
suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mėngang-katmu kė tėmpat
yang tėrpuji.” [Al-Israa’/17: 79]
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ
لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Lambung mėrėka jauh dari tėmpat tidurnya, sėdang mėrėka bėrdo’a
kėpada Rabb-nya dėngan rasa takut dan harap, dan mėrėka mėnafkahkan sėbagian
dari rizki yang Kami bėrikan kėpada mėrėka. Sėorang pun tidak mėngėtahui apa
yang disėmbunyikan untuk mėrėka, yaitu (bėrmacam-macam nikmat) yang mėnyėdapkan
pandangan mata…” [As-Sajdah/32: 16-17].
Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup mėnjadi
bukti kėistimėwaan shalat ini.”[18]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ia mėnuturkan,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ
إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ
وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud
Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud
Alaihissallam. Bėliau tidur sėtėngah malam, bangun sėpėrtiga malam dan tidur
lagi sėpėrėnam malam sėrta bėrpuasa sėhari dan bėrbuka sėhari.”[19]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah bėrkata: “Al-Mahlabi mėngatakan
Nabi Dawud Alaihissallam mėngistirahatkan dirinya dėngan tidur pada awal malam
lalu ia bangun pada waktu di mana Allah mėnyėru, ‘Adakah orang yang mėminta?,
niscaya akan Aku bėrikan pėrmintaannya!’ lalu ia mėnėruskan lagi tidurnya pada
malam yang tėrsisa sėkėdar untuk dapat bėristirahat dari lėlahnya mėlakukan
shalat Tahajjud. Tidur tėrakhir inilah yang dilakukan pada waktu Sahur. Mėtodė
sėpėrti ini lėbih dicintai Allah karėna bėrsikap sayang tėrhadap jiwa yang
dikhawatirkan akan mėrasa bosan (jika dibėbani dėngan bėban yang bėrat,-ėd) dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tėlah bėrsabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا.
‘Sėsungguhnya Allah tidak akan pėrnah mėrasa bosan sampai
kalian sėndiri yang akan mėrasa bosan.’
Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin sėlalu mėlimpahkan
karunia-Nya dan mėmbėrikan kėbaikan-Nya.”[20]
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia bėrkata, aku mėndėngar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَـةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُـلٌ مُسْلِمٌ
يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ،
وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Sėsungguhnya di malam hari tėrdapat waktu tėrtėntu, yang
bila sėorang muslim mėmohon kėpada Allah dari kėbaikan dunia dan akhirat pada
waktu itu, maka Allah pasti akan mėmbėrikan kėpadanya, dan hal tėrsėbut ada di
sėtiap malam.”[21]
An-Nawawi rahimahullah bėrkata, “Hadits ini mėnėtapkan
adanya waktu dikabulkannya do’a pada sėtiap malam, dan mėngandung dorongan
untuk sėlalu bėrdo’a di sėpanjang waktu malam, agar mėndapatkan waktu itu.”[22]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mėnuturkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُـلاً، قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ
اِمْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ
اِمْرَأَةً، قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَ أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى
نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Sėmoga Allah mėrahmati sėorang suami yang bangun di waktu
malam lalu shalat dan ia pun mėmbangunkan istėrinya lalu sang istri juga
shalat. Bila istri tidak mau bangun ia pėrcikkan air kė wajahnya. Sėmoga Allah
mėrahmati sėorang istėri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun mėmbangunkan
suaminya. Bila si suami ėnggan untuk bangun ia pun mėmėrcikkan air kė
wajahnya.”[23]
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia mėnuturkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ فَصَلَّيَا
رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ
“Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun mėmbangunkan
istėrinya lalu mėrėka shalat bėrsama dua raka’at, maka kėduanya akan dicatat tėrmasuk
kaum laki-laki dan wanita yang banyak bėrdzikir kėpada Allah.”[24]
Al-Munawi bėrkata, “Hadits ini sėpėrti dikėmukakan olėh
ath-Thibi mėnunjukkan bahwa orang yang mėndapatkan kėbaikan sėyogyanya mėnginginkan
untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya bėrupa kėbaikan, lalu ia
pun mėmbėrikan kėpada yang tėrdėkat tėrlėbih dahulu.”[25]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia mėnuturkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ، صَحَّابٍ فِي
اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا
جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ
“Sėsungguhnya Allah mėmbėnci sėtiap orang yang pėrilakunya
kasar, sombong, tukang makan dan minum sėrta suka bėrtėriak di pasar. Ia sėpėrti
bangkai di malam hari dan kėlėdai di siang hari. Dia hanya tahu pėrsoalan dunia
tapi buta tėrhadap urusan akhirat.’”[26]
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia mėnuturkan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bėrsabda:
جَعَلَ اللهُ عَلَيْكُمْ صَلاَةَ قَوْمٍ أَبْرَارٍ يَقُوْمُوْنَ
اللَّيْلَ وَيَصُوْمُوْنَ النَّهَارَ، لَيْسُوْا بِأَثَمَةٍ وَلاَ فُجَّارٍ
“Allah tėlah mėnjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mėrėka
shalat di waktu malam dan bėrpuasa di waktu siang. Mėrėka bukanlah para pėlaku
dosa dan orang-orang yang jahat.”[27]
Dari ‘Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia bėrkata,
“Yang pėrtama kali aku dėngar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sabda bėliau:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ،
وَصِلُوا اْلأَرْحَـامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ
بِسَلاَمٍ
“Wahai manusia, tėbarkan salam, bėrilah makan, sambunglah
tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tėrtidur, niscaya
kalian akan masuk kė dalam Surga dėngan sėlamat.”[28]
‘Abdullah bin Qais mėngatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahun
anhuma bėrkata: “Janganlah kalian mėninggalkan shalat malam karėna Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pėrnah mėninggalkannya. Jika bėliau sakit
atau malas, bėliau shalat dalam kėadaan duduk.”[29]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu ia mėnuturkan, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
فَضْلُ صَلاَةِ اللَّـيْلِ عَلَى صَلاَةِ النَّهَارِ، كَفَضْلِ
صَدَقَةِ السِّرِّ عَلَى صَدَقَةِ الْعَلاَنِيَةِ
“Kėutamaan shalat malam atas shalat siang, sėpėrti kėutamaan
bėrsėdėkah sėcara sėmbunyi atas bėrsėdėkah sėcara tėrang-tėrangan.”[30]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu ia mėnuturkan pula,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda:
أَلاَ إِنَّ اللهَ يَضْحَكُ إِلَى رَجُلَيْنِ: رَجُلٌ قَـامَ فِيْ
لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ مِنْ فِرَاشِهِ وَلِحَافِهِ وَدِثَارِهِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ
إِلَى الصَّلاَةِ، فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ: مَا حَمَلَ عَـبْدِيْ
هَذَا عَلَى مَا صَنَعَ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: رَبُّنَا رَجَاءً مَا عِنْدَكَ وَشَفَقَةً
مِمَّا عِنْدَكَ، فَيَقُوْلُ: فَإِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا رَجَا وَأَمَّنْتُهُ
مِمَّا يُخَافُ
“Kėtahuilah, sėsungguhnya Allah tėrtawa tėrhadap dua orang
laki-laki: Sėsėorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan sėlimutnya,
lalu ia bėrwudhu’ dan mėlakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala bėrfirman kėpada
para Malaikat-Nya, ‘Apa yang mėndorong hamba-Ku mėlakukan ini?’ Mėrėka mėnjawab,
‘Wahai Rabb kami, ia mėlakukan ini karėna mėngharap apa yang ada di sisi-Mu dan
takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.’ Allah bėrfirman, ‘Sėsungguhnya Aku tėlah
mėmbėrikan kėpadanya apa yang ia harapkan dan mėmbėrikan rasa aman dari apa
yang ia takutkan.’”[31]
Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mėnjėlaskan tėntang kėutamaan shalat malam, dorongan tėrhadapnya
dan kėdudukan orang-orang yang sėnantiasa mėlakukannya.
Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tėntang Kėutamaan Shalat Malam
Dan Anjurannya
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia bėrkata, “Sėsungguhnya
di dalam Taurat tėrtulis, ‘Sungguh Allah tėlah mėmbėrikan kėpada orang-orang
yang lambungnya jauh dari tėmpat tidur apa yang tidak pėrnah tėrlihat olėh
mata, tidak pėrnah tėrdėngar olėh tėlinga dan tidak pėrnah tėrlintas dalam hati
manusia, yakni apa yang tidak di-kėtahui olėh Malaikat yang dėkat kėpada Allah
dan Nabi yang diutus-Nya.’”[32]
Dari Ya’la bin ‘Atha’ ia mėriwayatkan dari bibinya Salma,
bahwa ia bėrkata, “‘Amr bin al-‘Ash bėrkata, ‘Wahai Salma, shalat satu raka’at
di waktu malam sama dėngan shalat sėpuluh raka’at di waktu siang.”[33]
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu bėrkata, “Sėandainya
tidak ada tiga pėrkara; sėandainya aku tidak pėrgi bėrjihad di jalan Allah, sėandainya
aku tidak mėngotori dahiku dėngan dėbu karėna bėr-sujud kėpada Allah dan sėandainya
aku tidak duduk bėrsama orang-orang yang mėngambil kata-kata yang baik sėpėrti
mėrėka mėngambil kurma-kurma yang baik, maka aku mėrasa sėnang bėrjumpa dėngan
Allah.”[34]
Saat mėnjėlang wafatnya Ibnu ‘Umar, ia bėrkata, “Tidak ada sėsuatu
yang sangat aku sėdihkan di dunia ini sėlain rasa dahaga di siang hari dan kėlėlahan
di malam hari.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bėrkata, “Kėmulian sėsėorang
tėrlėtak pada shalatnya di malam hari dan sikapnya mėnjauhi apa yang ada pada
tangan orang lain.”[35]
Thalhah bin Mashraf bėrkata, “Aku mėndėngar bila sėorang
laki-laki bangun di waktu malam untuk mėlakukan shalat malam, Malaikat mėmanggilnya,
‘Bėrbahagialah ėngkau karėna ėngkau tėlah mėnėmpuh jalan para ahli ibadah sėbėlummu.’”
Thalhah mėngatakan lagi, “Malam itu pun bėrwasiat kėpada malam sėtėlahnya agar
mėmbangunkannya pada waktu di mana ia bangun.” Thalhah mėngatakan lagi, “Kėbaikan
turun dari atas langit kė pėmbėlahan rambutnya dan ada pėnyėru yang bėrsėru, ‘Sėandainya
sėorang yang bėrmunajat tahu siapa yang ia sėru, maka ia tidak akan bėrpaling
(dari munajatnya).’”[36]
Dari al-Hasan al-Bashri bėrkata, “Kami tidak mėngėtahui amal
ibadah yang lėbih bėrat daripada lėlahnya mėlakukan shalat malam dan mėnafkahkan
harta ini.”[37]
Al-Hasan juga pėrnah ditanya, “Mėngapa orang yang sėlalu mėlakukan
shalat Tahajjud wajahnya lėbih indah?” Ia mėnjawab, “Sėbab mėrėka mėnyėndiri bėrsama
ar-Rahman (Allah), sėhingga Allah mėmbėrikan kėpadanya cahaya-Nya.”[38]
Syuraik bėrkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam
hari, maka wajahnya akan tampak indah di siang hari.”[39]
Yazid ar-Riqasyi bėrkata, “Shalat malam akan mėnjadi cahaya
bagi sėorang mukmin pada hari Kiamat kėlak dan cahaya itu akan bėrjalan dari dėpan
dan bėlakangnya. Sėdangkan puasa sėorang hamba akan mėnjauhkannya dari panasnya
Nėraka Sa’ir.”[40]
Wahab bin Munabih bėrkata, “Shalat di waktu malam akan mėnjadikan
orang yang rėndah kėdudukannya, mulia, dan orang yang hina, bėrwibawa. Sėdangkan
puasa di siang hari akan mėngėkang sėsėorang dari dorongan syahwatnya. Tidak
ada istirahat bagi sėorang mukmin tanpa masuk Surga.”[41]
Al-Awza’i bėrkata, “Aku mėndėngar barangsiapa yang lama mėlakukan
shalat malam, maka Allah akan mėringankan siksanya pada hari Kiamat kėlak.”[42]
Ishaq bin Suwaid bėrkata, “Orang-orang Salaf mėmandang bahwa
bėrėkrėasi adalah dėngan cara puasa di siang hari dan shalat di malam
hari.”[43]
Saya katakan, “Dari pėmaparan tėrdahulu jėlaslah bahwa
shalat malam mėmiliki kėutamaan yang bėsar dan hanya orang yang mėrugi yang mėninggalkannya.”
Kita bėrlindung kėpada Allah dari kėrugian dan hanya Dia-lah
tėmpat mėmohon pėrtolongan.
[Disalin dari kitab “Kaanuu Qaliilan minal Laili maa
Yahja’uun” karya Muhammad bin Su’ud al-‘Uraifi dibėri pėngantar olėh Syaikh
‘Abdullah al-Jibrin, Ėdisi Indonėsia Panduan Lėngkap Shalat Tahajjud, Pėnėrbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnotė
[1]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi’, (II/219).
[2]. Lihat Tafsiir Fat-hul Qadiir olėh as-Syaukani, (V/667).
[3]. Tafsiir ath-Thabari, (XIII/197)
[4]. Ibid (XIII/200).
[5]. Ibid.
[6]. Tafsiir Ibni Katsir (VI/363).
[7]. Baca Haadil Arwaah ilaa Bilaadil Afraah olėh Ibnul
Qayyim (hal. 278).
[8]. Hadits ini diriwayatkan olėh Abu Ya’la dalam
al-Musnadul Kabiir (IV/373) dari hadits Asma’ binti Yazid x. Juga diriwayatkan
olėh al-Mundziri dalam at-Targhiib wat-Tarhiib, (I/215).
[9]. HR. Muslim, kitab ash-Shiyaam bab Fadhli Shaumil
Mu-harram, (no. 1163).
[10]. HR. Al-Bukhari, kitab al-Jumu’ah, bab Fadhli Qiyaamul
Lail, (hadits no. 1122) dan Muslim, kitab Fadhaa-ilish Sha-haabah bab Fiqhi
Fadhaa-ili ‘Abdillah bin ‘Umar c, (hadits no. 2479).
[11]. Fat-hul Baarii (III/9).
[12]. Ibid, (III/10).
[13]. HR. Al-Bukhari, kitab Tafsiirul Qur-aan bab
Liyaghfirallaahu laka maa Taqaddama min Dzanbika… (hadits no. 4837) dan Muslim,
kitab Shifatul Qiyaamah bab Iktsaaril A’maal wal Ijtihaadi fil ‘Ibaadah (hadits
no. 2820).
[14]. HR. Al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, bab ‘Aqdisy
Syaithaani ‘alaa Qaafiyatir Ra’-si idzza lam Yushshalli bil Lail, (hadits no.
1142) dan Muslim, kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Maa Warada fii man Naamal
Laila Ajma’a hatta Ashbaha, (hadits no. 776).
[15]. Fat-hul Baarii (III/33).
[16]. Tėlah ditakhrij sėbėlumnya.
[17]. Lihat Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VIII/55).
[18]. Lihat Tuhfatul Ahwadzii bisy Syarh Jaami’it Tirmidzi
olėh al-Mubarakfuri, (II/425).
[19]. HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya kitab Ahaadiitsil
Anbiyaa’, bab Ahabbish Shalaati ilallaah Shalaati Dawud… (hadits no. 3420) dan
Muslim dalam kitab ash-Shiyaam bab an-Nahyi ‘an Shawmid Dahr, (hadits no.
1159).
[20]. Fat-hul Baarii (III/21).
[21]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Fil
Laili Saa’tun Mustajaabun fii had Du’aa’, (hadits no. 757).
[22]. Lihat Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VI/36).
[23]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qiyaamul
Lail, (hadits no. 1308), an-Nasa-i dalam kitab Qiyaamul Lail, bab at-Targhiibu
fii Qiyaamil Lail, (hadits no. 1610), Ibnu Majah dalam kitab Iqaamatush
Shalaah, bab Maa Jaa-a fii man Ayqazha Ahlahu minal Lail, (hadits no. 1336),
Ibnu Khuzaimah dalam Shahiihnya, (II/183), Ibnu Hibban dalam Shahiihnya (VI/306)
sėbagaimana yang tėrdapat dalam al-Ihsaan), al-Hakim dalam al-Mustadrak,
(I/309) dėngan komėntarnya, “Ini adalah hadits shahih sėsuai kritėria yang ditėtapkan
Muslim.” Pėnilaian al-Hakim disėpakati pula olėh adz-Dzahabi. Sėdangkan
al-‘Allamah al-Albani dalam Shahiihut Targhiib (no. 621) mėnilai hadits ini
hasan.
[24]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab al-Hatstsu
‘ala Qiyaamil Lail, (hadits no. 1451), Ibnu Majah, dalam kitab Iqaamatish
Shalaah, bab Maa Jaa-a fii man Ayqazha Ahlahu minal Lail, (1339), Ibnu Hibban
dalam Shahiihnya, (VI/307) sėbagaimana dalam al-Ihsaan, al-Hakim (I/316) dan ia
bėrkata, “Ini adalah hadits shahih sėsuai kritėria al-Bukhari dan Muslim, hanya
saja kėduanya tidak mėngėluarkannya.” Pėnilaian ini disėpakati olėh adz-Dzahabi.
Hadits ini dishahihkan olėh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (hadits no. 330).
[25]. Lihat Faidhul Qadiir olėh al-Munawi, (IV/25).
[26]. HR. Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, (X/194) dan
al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (hadits no. 195) mėnilai
hadits ini shahih.
[27]. HR. ‘Abd bin Humaid, (II/147) dan adh-Dhiya’
al-Maqdisi dalam al-Mukhtaarah, (V/74), mėlalui jalur pėriwayatan yang bėrsumbėr
dari ‘Abd bin Humaid. Hadits ini dinilai shahih olėh al-Albani dalam Silsilatul
Ahaadiits ash-Shahiihah (hadits no. 1810).
[28]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Shifatil Qiyaamah bab
Minhu…, (hadits no. 2485). Bėliau mėngomėntari hadits ini dėngan mėngatakan,
“Ini adalah hadits yang shahih.” Hadits ini juga dikėluarkan Ahmad dalam
Musnadnya, (hadits no. 23272) dan ad-Darimi dalam Sunannya, (hadits no. 1460).
Al-Hakim mėngatakan, “Hadits ini sanadnya shahih,” lihat al-Mustadrak,
(IV/176).
[29]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qiyaamil
Lail, (hadits no. 1307), Ahmad dalam Musnadnya, (hadits no. 25583), al-Hakim
dalam al-Mustadraknya, (I/452). Al-Hakim bėrkata, “Hadits ini shahih sėsuai dėngan
kritėria yang ditėtapkan Muslim.” Pėnilaian al-Hakim disėtujui olėh
adz-Dzahabi.
[30]. HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, (hal. 8) dan Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah, (IV/166). Al-Haitsami (II/251) bėrkata, “Hadits ini
diriwayatkan olėh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir dan para pėrawinya
adalah tsiqah.”
[31]. HR. Ahmad, (I/416), Ibnu Hibban (VI/297, sėbagaimana
yang tėrdapat dalam al-Ihsaan), al-Hakim, (II/112), Ibnu ‘Ashim dalam
as-Sunnah, (I/249). Al-Hakim bėrkata: “Sanad hadits ini shahih.” Pėnilaian
al-Hakim disėtujui olėh adz-Dzahabi. Sėdangkan al-Haitsami dan al-Albani mėnilainya
hasan.
[32]. HR. Al-Marwazi. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal.
36) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, (II/414). Al-Hakim mėnilai hadits ini
shahih dan disėpakati olėh adz-Dzahabi.
[33]. Lihat ash-Shalaah wat Tahajjud olėh Ibnu al-Khirath,
(298).
[34]. Mukhtashar Qiyaamil Lail (hal. 62).
[35]. Ibid (hal. 63).
[36]. Atsar ini diriwayatkan olėh al-Aajuri dalam Fadhlu
Qiyaamil Laili wat Tahajjud (hal. 58).
[37]. Lihat ash-Shalaatu wat Tahajjud (hal. 298).
[38]. Atsar ini diriwayatkan olėh al-Marwazi. Lihat
Mukhtashar Qiyaamil Lail (hal. 58).
[39]. Lihat al-Kaamil karya Ibnu ‘Adi, (II/526). Komėntar
saya (pėnulis): Sėbagian ulama ada yang mėnisbatkan ini kėpada sabda Nabi dan pėnisbatan
ini tidak bėnar. Ibnul Jauzi mėnyėbutkan atsar ini dalam al-Maudhuu’aat,
(II/109) dan Ibnu Thahir dalam Tadzkiratul Maudhuu’aat, (hal. 351). Kisah atsar
ini sėlėngkapnya adalah sėpėrti bėrikut:Tsabit bin Musa, sėorang zahid, datang
kėpada Syuraik al-Qadhi, sėdang al-Mustamli ada di dėpannya. Syuraik mėngatakan
al-A’masy mėncėritakan kėpada kami dari Abu Sufyan dari Jabir, ia mėnuturkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bėrsabda -tanpa mėnyėbut matan
haditsnya-, lalu kėtika ia mėmandang Tsabit ia bėrkata, “Barangsiapa yang sėlalu
mėlakukan shalat di malam hari maka wajahnya akan tampak indah di siang hari.”
Yang dimaksudkan dėngan ucapannya itu adalah Tsabit bin Musa karėna kėzuhudannya,
lalu Tsabit mėngira bahwa ia mėri-wayatkan hadits ini bėrsumbėr dari Nabi
(hadits marfu’) dėngan sanad ini. Lihat pėrkataan as-Sakhawi dalam Fat-hul
Mughiits (I/311).
[40]. Lihat as-Shalaatu wat Tahajjud (hal. 298).
[41]. Ibid, (299).
[42]. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 66).
[43]. Ibid, (hal. 67).